Hei kamu, pernahkah kamu merasa waktu terlihat begitu singkat? Padahal baru sebentar, namun ternyata kamu sudah membunuh ribuan detik di tempat yang sama. Aneh? Lucu? Atau apa? Karena aku menyebutnya charge kebahagiaan.
Dalam 7 hari, aku hanya memiliki satu hari di akhir pekan untuk mendengar suaranya, kecuali jika dia yang tiba-tiba menginginkan untuk mengobrol di luar jadwal yang telah ia buat dan kami sepakati. Kenapa tidak setiap hari? Toh hanya butuh beberapa detik saja untuk menekan nomornya di log panggilan. Karena rindu tidak mungkin diselesaikan dalam waktu beberapa detik. Maka dari itu aku memiliki celengan virtual, yang ku sebut dengan Celengan Rindu.
Celengan rindu, lucu bukan? Jika kalian tidak tau bentuknya, bayangkan saja dengan sebuah celengan berbentuk ayam jago tapi dengan ukuran yang besar. Aku terlalu sering merindunya, bahkan setiap namanya melintas dalam pikiranku, selalu saja ada sekawanan rindu yang mengikutinya. Maka dari itu aku membutuhkan celengan yang besar, biar rinduku tertampung dengan sempurna. Bila waktuku untuk membahas tentang rindu-rindu untuknya telah tiba, maka akan ku sampaikan semuanya. Meski seringkali, rindu masih selalu tersisa di akhir percakapan.
Hari ke-34.
Sepertinya aku harus sadar, jika memang ini tidak benar. Ya, aku hanya bermimpi selama ini. Semua tidak benar-benar ada. Sapaan hangat dan ramah, perhatian-perhatian kecil yang semakin membuatku jatuh hati, itu fana dan tidak pernah ada. Harusnya aku sadar, dia hanya terpaksa mengikuti ego seorang bocah. Hanya aku, bukan dia.
Aku sadar diri, dengan teliti memposisikan hati, dan paham kapan harus pergi. Mungkin karena semua ada waktunya. Aku hanya ingin mencintaimu dengan tenang, tanpa ada takut akan kehilangan. Jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan membiarkanku menghilang.
Sakit? Tentu saja. Saat kamu bisa melapangkan sabarmu, saat itulah kamu jatuh cinta. Mana ada? Bodoh.
Mencaci diri sendiri setiap hari saat sekelebat sosokmu melitas dalam imajiku. Bunyi telepon itu, masih saja berharap itu panggilan darimu. Saat bukan namamu yang tertera pada layarnya, aku hanya tersenyum. Sebegitu hebatnya dirimu sampai aku selalu berharap ponselku berdering karena panggilanmu, lagi.
Hidup, bukan hanya tentang aku dan kamu. Tak ada yang salah dengan kalimat itu, yang salah adalah aku sebagai kamu dalam kalimat tersebut. Karena kamu adalah kita yang ku semogakan bertemu, dan kamu yang membunuh pertemuan itu bahkan sebelum dia ada.Selalu aku tekankan jika cinta, bukan hanya ada rindu dan cemburu. Tapi juga sepaket dengan rasa sakit.
Sedari tadi aku mencari padanan kata yang pas untuk rasa yang ku punya. Ada luka yang berada dalam satu paragraf dengan cinta, rindu dan cemburu.
Seandainya aku bisa menuliskan dengan jelas apa yang ku rasakan saat itu, dan hari-hari sebelum kemarin, terdiam pasrah menikmati cambukan sakit dari dalam. Namun nihil. Aku tidak bisa apa-apa. Mungkin, kalimat-kalimat ini terlalu dangkal untuk menggambarkan sendu. Aku akan berpikir cara lain untuk menggambarkannya.
Sebaiknya ku akhiri saja tulisan tak bermakna ini. Setidaknya obat yang aku minum tadi bisa membuatku tidur dengan pulas malam ini. Tanpa perlu mengkhawatirkan tentang rasa sakit. Kalau pun besok dan lusa aku terluka lagi karenanya, aku sudah bisa terbiasa dengan sakitnya.
Selamat malam semesta, semoga esok pagi kau temukan bahagia dari dia yang mampu membuatmu tertawa meski baru pertama sedekat itu bersamanya. Maafkan aku, jika suaramu masih jadi penawar luka yang tergurat karena rasa yang ku punya.