Translate

Saturday, 20 August 2016

Selamat Pagi Cinta

Hei, apa kalian pernah memperhatikan jika sekarang, orang-orang disekitar kalian menjadi seperti robot? Mereka mengejar waktu setiap harinya. Kemudian saat mereka terburu-buru kemudian melakukan kesalahan, mereka tidak pernah akan mau disalahkan. Disini, yang salah akan merasa benar, dan yang benar kerap kali dipersalahkan. Tinggal siapa yang lebih dulu berteriak. Dunia memang keras.

Aku pun sama halnya dengan mereka, tidak berbeda jauh. Diburu oleh waktu. Tapi ada satu yang selalu membuat hatiku sedikit lega, dan menjadikan pagi terasa tak biasa. Itu karena dia.

Oh ya, namaku Orion. Aku bekerja sebagai pramusaji di salah satu kedai kopi di kawasan Surabaya. Setiap pagi, waktu sudah berlarian mengejarku tanpa pernah memberi ampun. Namun ada satu hal yang menjadikan pagiku lebih indah dari kicau burung yang memecah hening pagi. Lebih mendebarkan dari suara motor sport 4 tak yang dipacu di jalanan. Dia. Yang setiap hari membuatku rela untuk menunggu.

Jam digital yang terpampang di layar handphone ku menunjukan waktu 06.30. Waktunya untuk berangkat menuju tempat pertemuan. Bukan janjian. Hanya saja, disana aku bisa bertemu dan melihatnya.

06.36. Aku sudah sampai. Tak lupa ku pasang earphone pada kedua telingaku, meski tanpa musik. Konyolkah? Haha.. Aku hanya ingin fokus melihatnya tanpa ingin mendengar apapun dari suara orang-orang yang juga lalu-lalang di tempat ini. Tak lama kemudian, kulihat dia sudah berada di ujung jembatan penyeberangan. Kemeja kotak-kotak hitam dengan garis-garis biru, celana jeans senada, dan sepatu kets. Rambutnya dibiarkan tergerai. Cantik.

Dia berjalan perlahan sambil membawa sebuah buku yang sesekali dibacanya. Kurasa, dia sedang menghafalkan sesuatu. Aku pun berjalan menuju kearahnya. Ditempat ini, setiap harinya aku berpas-pasan dengannya. Melihatnya dari arah berlawanan, kemudian menoleh saat posisi kami sejajar. Kemudian menjauh menuju ke tempat masing-masing yang kami tuju.

Aku menemuinya di jembatan penyeberangan yang tak jauh dari halte bis yang menuju kearah tempatku bekerja. Disini setiap pagi. Di tempat yang sama. Pada jam yang hampir sama pula setiap harinya. Aku menemuinya.

Aku tidak mengenalnya, bahkan siapa namanya saja, aku juga tidak mengetahuinya. Sebntar, biar aku ralat. Bukannya aku tidak mengenal dan tahu namanya, hanya belum tau. Setiap hari kami hanya berpas-pasan di jembatan penyeberangan ini. Kemudian kami pergi kearah berlawan menuju tujuan kami masing-masing. Ya, saaat ini aku dan dia masih berjalan berlawanan arah, tapi mungkin saja nanti, aku dan dia bisa berjalan beriringan dengan arah yang sama. "Mimpi kamu Ori" Batinku.

Tapi siapa yang tau kehendak Tuhan? Mungkin saja aku nanti di berikan kesempatan, meski sekedar menyandingnya. By the way, Selamat pagi cinta.

Friday, 19 August 2016

Pagi dan Cerita tentang Secangkir Kopi



Adakah yang lebih menyebalkan dari patah hati dan pahitnya secangkir kopi?


Pagi tadi aku terbangun dengan kepala pening serta flu yang tak kunjung reda hingga aku duduk di depan monitor saat ini. Cuaca musim panas. Inilah yang akan menyiksaku sepanjang musim. Angin yang terlalu berlebihan menjadikan udara lebih dingin dari biasanya. Menyebalkan. Aku tidak suka angin, karena ia selalu membuat mataku berkaca dan menyebabkan hidungku seperti mata air pegunungan yang tak henti mengeluarkan cairan. Ya, aku pilek. Dan ini akan terjadi sepanjang hari dan sepanjang musim.

Seperti biasanya, ritual melihat jam pada layar handphone yang ku letakkan tak jauh dari bantal tidurku menjadi rutinitas. Membuka salah satu aplikasi yang selalu ramai dengan notifikasi grup chat. Ku lihat tak ada notifikasi yang menunjukkan pesan pribadi yang dikirimkan kepadaku. Close. Bukan apa-apa, hanya saja aku sedang tidak ingin membaca ocehan teman-temanku yang ada di beberapa grup.

Aku memasang earphone, karena memang masih terlalu pagi untuk bangun. 04.38 waktu yang tertera pada layar handphone. Bukan lagu dari JKT48 yang ku pilih untuk menemaniku menunggu matahari muncul dan meninggi, pilihanku jatuh ke salah satu band yang sudah lama berkecimpung di industri musik Indonesia, meski kini tidak sering terlihat namun lagunya tetap menjadi salah satu favoritku. Suara Adi Naff dengan apik membawakan lirik demi lirik, bait demi bait lagu yang sedang mengalun. Tak Seindah Cinta yang Semestinya - Naff.

Belum juga lagu itu berakhir, hatiku sudah nyeri. Bodoh memang disaat seperti ini, aku mendengarkan lagu yang melow dan tak bersahabat seperti ini. Bukan malah menambah semangat, malah membuat hati semakin terbenam dalam rasa yang seharusnya di usaikan. Ku putuskan untuk bangun, sekedar mencuci muka agar kepalaku juga sedikit baikan dan nyeri di dada sedikit mereda.

Aku berjalan kearah kamar mandi yang melewati dapur. Di meja sudah tersaji beberapa gelas minuman, sekarang mataku tertuju pada secangkir kopi. Cairan hitam itu terdiam angkuh di rangkul gelas bening yang menduduki piring kecil berwarna putih dengan ornamen garis yang membentuk lingkaran pada sisinya. Asapnya mengepul seolah menggodaku untuk segera menyesap. Benar memang, jika kopi hitam adalah pekat paling memikat. Aku langsung tergoda.


Shit!

Seketika aku mengeluarkan kopi yang sempat ku sesap. Lidahku seketika terasa menebal dan mati rasa. Rasa pahit dari kopi pun masih melekat kuat."Ah sialah" Ucapku perlahan. Bodoh. Kopi tadi memang masih terlihat kepulan asap yang sangat banyak, tentu saja masih baru diseduh. Tapi kenapa langsung ku minum? Aaarrhh..

Kembali ku amati gelas bening berisi cairan pekat itu, ternyata benar dugaanku. Gulanya masih mengendap dibawah, pertanda belum diaduk sama sekali. Untung saja di dapur sedang tidak ada orang, hanya ada kakekku yang sedang sibuk dengan ayamnya. Setidaknya tidak ada orang yang menyaksikan kebodohanku pagi ini. Syukurlah! Aku segera membersihkan kopi yang ku semburkan tadi untuk menghilangkan jejak.

Kemudian aku kembali pada segelas kopi tadi. Terlihat gelas bening masih dengan setia memeluk cairan hitam yang angkuh itu, meski dengan bercak noda hasil sesapanku. Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana rasa pahitnya. Pahit, sangat pahit. Mengingatkanku pada pahit saat kehilanganmu beberapa waktu lalu.

Kombinasi rasa pahit kopi dan pahitnya kehilanganmu, benar-benar berhasil menimbulkan nyeri.

Sepertinya aku harus menyudahi cerita ini. Karena saat ini aku ingin menikmati Lagu Rindu dari Kerispatih sambil melihat ke arah luar yang menampilkan warna langit tak lagi cerah. Romantis sekali jika saat ini aku sudah berada di depan kantormu, duduk di jok motor yang ku parkir tak jauh dari pintu gerbang sambil menunggumu pulang. Kemudian kamu akan tersenyum ketika tahu aku sudah menunggu, lalu kamu berpamitan dengan temanmu kemudian meninggalkannya dan berjalan menuju kearahku. Eh, tapi itu hanya khayalanku saja. Hahaha

Kini aku sedang menikmati pemandangan yang terlihat dari jendela kamar bersama rindu-rindu yang baru saja datang bertamu memenuhi dadaku.

Tadi pagi aku tidak meneruskan acara minum kopi yang ku lakukan setiap pagi. Aku membuangnya, tentu saja tanpa sepengetahuan kakekku yang notabene si tukang pembuat kopinya. Karena aku tidak ingin menelan pahit sekaligus sakit yang bercampur dalam setiap teguknya.

Oh ya, selamat siang untuk kamu yang saat ini dalam perjalanan pulang. Maaf, jika saat ini rinduku masih saja terus berulang.

Thursday, 18 August 2016

Seandainya


Siang ini aku sedang berbicara dengan ingatan tentangmu, di dalam redupnya kamar yang minim penerangan karena gorden yang sengaja tidak ku buka, bersama suara desah angin musim panas yang menerpa dedaunan serta secangkir kopi hitam dengan aroma memikat yang nikmatnya tak pernah mengingkari. Perlahan aku tenggelam saat mengingat potret senyum demi senyum yang mengisi secarik cerita ketika kita larut dalam obrolan ringan tentang sebuah rasa. Ingatanku hanya tersenyum asimetris dan tak menghiraukan wajah seriusku yang menyesap rasa yang telah lalu.

"Bisakah kamu bersikap seperti ini dan menganggapku seorang kakak saja?" Aku mulai kehilangan daya saat membaca pesan singkat yang terpampang di handphone yang ku pegang. Aku kembali memutar tentang pertanyaan demi pertanyaan yang berputar di otakku tentang firasat, kemarin telah ku temukan jawabannya.

Hanya ada hening, yang sedang mengamati hati yang tengah berlarian tak tentu arah. Umpatan penuh frustasi, derap langkah kasar, pukulan penuh emosi pun hanya mampu di telan. Hebat bukan? Tentu saja. Aku sejak kecil sudah terlatih untuk menyunggingkan senyum tulus kepada semua orang, kapan pun dan dalam kondisi apapun. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengartikan senyum apa yang sedang aku perlihatkan.

"Aku terpaksa meminta ini, karena aku gak mau nyakitin kamu nantinya" Tambahnya. Aku hanya mampu meredam semuanya. Mungkin saja saat itu tangisnya pecah. Iya mungkin, karena aku sedang tidak berada di hadapannya ketika ia mengatakan ini semua.

"Apa aku menyakitimu? Tapi ini akan lebih menyakitkan jika kita terus jalan" Aku tak lagi bisa bergeming. Pertahananku seketika runtuh.

***

Jarak. Sering kali menjadi masalah ketika seseorang yang dicintai letaknya ratusan kilometer, ribuan meter hingga mungkin jutaan centimeter yang mengukur betapa jauhnya sang kekasih dari tempatnya berdiri saat ini.

Risau. Entah, risau yang seperti apa yang sedang menggelayuti hatiku saat itu. Dua hari lalu, aku kebingungan mencari cara untuk menenangkannya, namun nihil. Risau itu selalu muncul ketika namamu terlintas dalam benakku. Maafkan aku, jika tanpa sepengetahuanmu sering kali aku menyebut nama panjangmu dan mengeja setiap huruf yang beberapa waktu lalu sempat kau eja agar aku tidak salah menyebutkannya. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa ku tahu kapan. Apalagi ketika potret wajahmu yang menampilkan senyum melintas begitu saja di ingatan.

Andai saja jarak antara kita tidak terlalu jauh untuk ku tempuh. Mungkin aku akan sering main ke rumahmu, mengantar dan menjeputmu saat bekerja, pergi ke tempat-tempat yang kamu mau, makan bersama, membahas hal-hal menarik yang kita jumpai, memperdebatkan hal-hal kecil yang membuat kita tertawa pada akhirnya, atau mungkin diam-diam memperhatikan ketika salah satu dari kita sedang fokus melihat sesuatu.

Aku ingin sekali mengusap puncak kepalamu seolah kamu ini masih seorang bocah yang manja, memelukmu hingga kamu merasa nyaman dan percaya jika kamu aman. Seandainya ya, hanya seandainya.

Sayangnya itu hanya angan-anganku saja, dan memang hanya sekedar mimpi di siang hari. Pada awalnya aku sempat bertekad untuk bergerak, datang ke tempatmu berpijak. Namun ku tahan inginku dengan berbagai alasan agar aku tidak menemuimu secepat ini, aku ingin memastikan terlebih dulu kebenaran rasa yang kita miliki. Bukan karena aku tidak ingin memperjuangkanmu, bukan juga aku meragukanmu, bukan karena aku tak sanggup, bukan.

Sebenarnya aku ingin mencoba, namun aku selalu takut menyakitimu nantinya, walaupun aku belum pernah menyentuhmu secara langsung. Hanya lewat deretan kata yang tersusun sempurna yang menyambungkan isi kepala dan bahkan isi hati kita hingga mengenai hal yang mengenalkan sampai mendekatkan kita. Mulai ada takut jika kamu mengangis karena seseorang, apalagi jika menangis karena aku.

Lewat tutur bahasa santunmu, renyah tawamu dan lembutnya suaramu. Aku menikmatinya, menikmati setiap detik yang kita habiskan bersama di ujung telepon. Aku menikmatinya dengan menatap dalam-dalam sorot matamu yang tergambar dalam sebuah foto yang sempat kamu kirimkan. Ya, aku menyayangimu.

Setidaknya, aku ingin menjagamu dari kejauhan dan kejelasan status yang sempat kau utarakan. Lewat telapak tangan dan suara lirih yang bergetar samar yang membisikkan namamu perlahan.

Seandainya kita... Seandainya. Ya, seandainya.