Translate

Friday, 19 August 2016

Pagi dan Cerita tentang Secangkir Kopi



Adakah yang lebih menyebalkan dari patah hati dan pahitnya secangkir kopi?


Pagi tadi aku terbangun dengan kepala pening serta flu yang tak kunjung reda hingga aku duduk di depan monitor saat ini. Cuaca musim panas. Inilah yang akan menyiksaku sepanjang musim. Angin yang terlalu berlebihan menjadikan udara lebih dingin dari biasanya. Menyebalkan. Aku tidak suka angin, karena ia selalu membuat mataku berkaca dan menyebabkan hidungku seperti mata air pegunungan yang tak henti mengeluarkan cairan. Ya, aku pilek. Dan ini akan terjadi sepanjang hari dan sepanjang musim.

Seperti biasanya, ritual melihat jam pada layar handphone yang ku letakkan tak jauh dari bantal tidurku menjadi rutinitas. Membuka salah satu aplikasi yang selalu ramai dengan notifikasi grup chat. Ku lihat tak ada notifikasi yang menunjukkan pesan pribadi yang dikirimkan kepadaku. Close. Bukan apa-apa, hanya saja aku sedang tidak ingin membaca ocehan teman-temanku yang ada di beberapa grup.

Aku memasang earphone, karena memang masih terlalu pagi untuk bangun. 04.38 waktu yang tertera pada layar handphone. Bukan lagu dari JKT48 yang ku pilih untuk menemaniku menunggu matahari muncul dan meninggi, pilihanku jatuh ke salah satu band yang sudah lama berkecimpung di industri musik Indonesia, meski kini tidak sering terlihat namun lagunya tetap menjadi salah satu favoritku. Suara Adi Naff dengan apik membawakan lirik demi lirik, bait demi bait lagu yang sedang mengalun. Tak Seindah Cinta yang Semestinya - Naff.

Belum juga lagu itu berakhir, hatiku sudah nyeri. Bodoh memang disaat seperti ini, aku mendengarkan lagu yang melow dan tak bersahabat seperti ini. Bukan malah menambah semangat, malah membuat hati semakin terbenam dalam rasa yang seharusnya di usaikan. Ku putuskan untuk bangun, sekedar mencuci muka agar kepalaku juga sedikit baikan dan nyeri di dada sedikit mereda.

Aku berjalan kearah kamar mandi yang melewati dapur. Di meja sudah tersaji beberapa gelas minuman, sekarang mataku tertuju pada secangkir kopi. Cairan hitam itu terdiam angkuh di rangkul gelas bening yang menduduki piring kecil berwarna putih dengan ornamen garis yang membentuk lingkaran pada sisinya. Asapnya mengepul seolah menggodaku untuk segera menyesap. Benar memang, jika kopi hitam adalah pekat paling memikat. Aku langsung tergoda.


Shit!

Seketika aku mengeluarkan kopi yang sempat ku sesap. Lidahku seketika terasa menebal dan mati rasa. Rasa pahit dari kopi pun masih melekat kuat."Ah sialah" Ucapku perlahan. Bodoh. Kopi tadi memang masih terlihat kepulan asap yang sangat banyak, tentu saja masih baru diseduh. Tapi kenapa langsung ku minum? Aaarrhh..

Kembali ku amati gelas bening berisi cairan pekat itu, ternyata benar dugaanku. Gulanya masih mengendap dibawah, pertanda belum diaduk sama sekali. Untung saja di dapur sedang tidak ada orang, hanya ada kakekku yang sedang sibuk dengan ayamnya. Setidaknya tidak ada orang yang menyaksikan kebodohanku pagi ini. Syukurlah! Aku segera membersihkan kopi yang ku semburkan tadi untuk menghilangkan jejak.

Kemudian aku kembali pada segelas kopi tadi. Terlihat gelas bening masih dengan setia memeluk cairan hitam yang angkuh itu, meski dengan bercak noda hasil sesapanku. Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana rasa pahitnya. Pahit, sangat pahit. Mengingatkanku pada pahit saat kehilanganmu beberapa waktu lalu.

Kombinasi rasa pahit kopi dan pahitnya kehilanganmu, benar-benar berhasil menimbulkan nyeri.

Sepertinya aku harus menyudahi cerita ini. Karena saat ini aku ingin menikmati Lagu Rindu dari Kerispatih sambil melihat ke arah luar yang menampilkan warna langit tak lagi cerah. Romantis sekali jika saat ini aku sudah berada di depan kantormu, duduk di jok motor yang ku parkir tak jauh dari pintu gerbang sambil menunggumu pulang. Kemudian kamu akan tersenyum ketika tahu aku sudah menunggu, lalu kamu berpamitan dengan temanmu kemudian meninggalkannya dan berjalan menuju kearahku. Eh, tapi itu hanya khayalanku saja. Hahaha

Kini aku sedang menikmati pemandangan yang terlihat dari jendela kamar bersama rindu-rindu yang baru saja datang bertamu memenuhi dadaku.

Tadi pagi aku tidak meneruskan acara minum kopi yang ku lakukan setiap pagi. Aku membuangnya, tentu saja tanpa sepengetahuan kakekku yang notabene si tukang pembuat kopinya. Karena aku tidak ingin menelan pahit sekaligus sakit yang bercampur dalam setiap teguknya.

Oh ya, selamat siang untuk kamu yang saat ini dalam perjalanan pulang. Maaf, jika saat ini rinduku masih saja terus berulang.

No comments:

Post a Comment