Translate

Thursday, 18 August 2016

Seandainya


Siang ini aku sedang berbicara dengan ingatan tentangmu, di dalam redupnya kamar yang minim penerangan karena gorden yang sengaja tidak ku buka, bersama suara desah angin musim panas yang menerpa dedaunan serta secangkir kopi hitam dengan aroma memikat yang nikmatnya tak pernah mengingkari. Perlahan aku tenggelam saat mengingat potret senyum demi senyum yang mengisi secarik cerita ketika kita larut dalam obrolan ringan tentang sebuah rasa. Ingatanku hanya tersenyum asimetris dan tak menghiraukan wajah seriusku yang menyesap rasa yang telah lalu.

"Bisakah kamu bersikap seperti ini dan menganggapku seorang kakak saja?" Aku mulai kehilangan daya saat membaca pesan singkat yang terpampang di handphone yang ku pegang. Aku kembali memutar tentang pertanyaan demi pertanyaan yang berputar di otakku tentang firasat, kemarin telah ku temukan jawabannya.

Hanya ada hening, yang sedang mengamati hati yang tengah berlarian tak tentu arah. Umpatan penuh frustasi, derap langkah kasar, pukulan penuh emosi pun hanya mampu di telan. Hebat bukan? Tentu saja. Aku sejak kecil sudah terlatih untuk menyunggingkan senyum tulus kepada semua orang, kapan pun dan dalam kondisi apapun. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengartikan senyum apa yang sedang aku perlihatkan.

"Aku terpaksa meminta ini, karena aku gak mau nyakitin kamu nantinya" Tambahnya. Aku hanya mampu meredam semuanya. Mungkin saja saat itu tangisnya pecah. Iya mungkin, karena aku sedang tidak berada di hadapannya ketika ia mengatakan ini semua.

"Apa aku menyakitimu? Tapi ini akan lebih menyakitkan jika kita terus jalan" Aku tak lagi bisa bergeming. Pertahananku seketika runtuh.

***

Jarak. Sering kali menjadi masalah ketika seseorang yang dicintai letaknya ratusan kilometer, ribuan meter hingga mungkin jutaan centimeter yang mengukur betapa jauhnya sang kekasih dari tempatnya berdiri saat ini.

Risau. Entah, risau yang seperti apa yang sedang menggelayuti hatiku saat itu. Dua hari lalu, aku kebingungan mencari cara untuk menenangkannya, namun nihil. Risau itu selalu muncul ketika namamu terlintas dalam benakku. Maafkan aku, jika tanpa sepengetahuanmu sering kali aku menyebut nama panjangmu dan mengeja setiap huruf yang beberapa waktu lalu sempat kau eja agar aku tidak salah menyebutkannya. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa ku tahu kapan. Apalagi ketika potret wajahmu yang menampilkan senyum melintas begitu saja di ingatan.

Andai saja jarak antara kita tidak terlalu jauh untuk ku tempuh. Mungkin aku akan sering main ke rumahmu, mengantar dan menjeputmu saat bekerja, pergi ke tempat-tempat yang kamu mau, makan bersama, membahas hal-hal menarik yang kita jumpai, memperdebatkan hal-hal kecil yang membuat kita tertawa pada akhirnya, atau mungkin diam-diam memperhatikan ketika salah satu dari kita sedang fokus melihat sesuatu.

Aku ingin sekali mengusap puncak kepalamu seolah kamu ini masih seorang bocah yang manja, memelukmu hingga kamu merasa nyaman dan percaya jika kamu aman. Seandainya ya, hanya seandainya.

Sayangnya itu hanya angan-anganku saja, dan memang hanya sekedar mimpi di siang hari. Pada awalnya aku sempat bertekad untuk bergerak, datang ke tempatmu berpijak. Namun ku tahan inginku dengan berbagai alasan agar aku tidak menemuimu secepat ini, aku ingin memastikan terlebih dulu kebenaran rasa yang kita miliki. Bukan karena aku tidak ingin memperjuangkanmu, bukan juga aku meragukanmu, bukan karena aku tak sanggup, bukan.

Sebenarnya aku ingin mencoba, namun aku selalu takut menyakitimu nantinya, walaupun aku belum pernah menyentuhmu secara langsung. Hanya lewat deretan kata yang tersusun sempurna yang menyambungkan isi kepala dan bahkan isi hati kita hingga mengenai hal yang mengenalkan sampai mendekatkan kita. Mulai ada takut jika kamu mengangis karena seseorang, apalagi jika menangis karena aku.

Lewat tutur bahasa santunmu, renyah tawamu dan lembutnya suaramu. Aku menikmatinya, menikmati setiap detik yang kita habiskan bersama di ujung telepon. Aku menikmatinya dengan menatap dalam-dalam sorot matamu yang tergambar dalam sebuah foto yang sempat kamu kirimkan. Ya, aku menyayangimu.

Setidaknya, aku ingin menjagamu dari kejauhan dan kejelasan status yang sempat kau utarakan. Lewat telapak tangan dan suara lirih yang bergetar samar yang membisikkan namamu perlahan.

Seandainya kita... Seandainya. Ya, seandainya.

No comments:

Post a Comment