Translate

Friday, 5 June 2015

Batas Waktu



Kau tahu dengan pasti jika Tuhan selalu menciptakan semua dalam dua sisi. Baik dan buruk, panjang dan pendek, jauh dan dekat, lalu awal dan akhir. Dua hal yang terlahir bersamaan dan tak pernah terpisah dalam hal apapun. Semuanya memiliki batas yang tak pernah bisa kita bantah keberadaannya. Seperti halnya akhir. Kau tahu, kenapa akhir selalu ada di penghujung? Agar kamu tahu, bagaimana sebuah awal memenuhi ceritamu dengan banyak hal. Dan tentunya awal tidak pernah memberi tahumu batas akhirnya.

Tidak ada hal yang tidak memiliki batas, dan tidak ada yang bisa memprediksi akhir. Dirimu hanya bisa menyiapkan diri sebaik mungkin untuk sebuah akhir saat merasa sudah mendekatinya, atau mungkin kau bisa membuat akhirmu sendiri saat dirimu sadar inilah waktu yang tepat untuk mempersilakan akhir masuk mengisi bagian paling belakang dari ceritamu.

Lalu bagaimana jika akhir datang terlalu cepat? Bagaimana jika ia datang ketika masih sayang-sayangnya? Bagaimana jika ia datang saat dirimu masih mendekapnya erat? Bagaimana jika ia datang saat dirimu masih bisa merasakan hangatnya nafasnya dan mencium aroma khas tubuhnya?

***

Jika semua orang tahu akan akhir dan mereka juga tahu jika semuanya memiliki batas waktu, kenapa mereka mau memulai?

***

Matahari sudah tidak nampak sejak beberapa jam lalu. Suara binatang malam menghiasi suramnya malam ini. Angin berhembus kencang menerpa dedaunan yang menimbulkan suara gemerisik pengusik pekat.

Aku duduk di ranjang dan menyandarkan badanku ke dinding bercat putih dengan coretan-coretan tentang rencana yang ingin ku jalani bersamanya. Dia yang kini sedang duduk disebelahku dengan kaos putih favoritnya dan rambut yang di ikat keatas. Namanya Aleta. Perempuan yang ku suka sejak dua tahun lalu.

“Ray, aku mau tanya sesuatu.” Ucapnya sambil membenarkan duduknya.

“Apa Al?” Aku mencoba bicara setenang mungkin. Aku sangat hafal bagaimana cara bicara wanitaku, jika dia bicara dengan nada seperti ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama dia sedang marah padaku. Kedua, dia ingin berbincang serius denganku.

Bisa ku dengar hela nafas panjangnya memenuhi kamar ini. “Tapi aku tidak tau harus memulainya darimana.”

 “Tenang aja. Kamu punya waktu semalaman untuk bertanya dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Jika masih kurang, besok masih ada seharian sampai sore.” Aku pindah duduk di depannya, agar dia bisa dengan leluasa berbicara.

Mata sayunya masih berputar-putar mencari sesuatu. Entah apa yang ia cari. Pencariannya berhenti saat pandangan kami bertemu pada satu titik. Dapat ku lihat dengan jelas, mata jernihnya yang selalu mampu membuatku rindu.

Perlahan dia kembali membuang nafas berat. “Ray, katakan padaku.. Bagaimana kamu bisa memulai sesuatu jika kamu tahu itu akan berakhir?”

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah apa yang sedang ada dalam kepalanya, sepertinya sesuatu yang berat sedang melandanya.
“Emmm.. Kenapa kamu memelihara ikan, padahal kamu tahu jika nantinya ikan itu juga akan mati? Semua diciptakan berpasangan. Ada awal, sudah pasti akan ada akhir.”


“Kalau memang ada akhir, kenapa orang-orang berusaha untuk mengawali? Padahal sudah jelas semua akan berakhir.” Aleta seperti tidak mau kalah. Begitulah dia, selalu tidak ingin mengalah jika lawan bicaranya adalah aku.

“Karena kamu menginginkannya.” Jawabku.

“Apa maksudmu?” Dahinya mulai berkerut, matanya mulai terbuka lebar mencermati jawabanku. Aku memang suka menjawab pertanyaannya dengan jawaban singkat, dengan begitu aka nada pertanyaan lagi yang akan ia lontarkan kepadaku.

“Ya gitu..” Aku tertawa melihat ekspresi ingin tahunya. Aku sudah bersiap menerima cubitan di perutku jika dia sudah kesal.
“Gini Al.. Semua yang memiliki awal selalu mempunyai akhir. Kalau mereka masih bertanya kenapa orang-orang berusaha untuk mengawali? Padahal sudah jelas semua akan berakhir. Jawabanya, karena mereka menginginkannya.”
Sekarang akulah yang menghela nafas dan kembali menatapnya serius sambil menggenggam tangannya. “Al.. Aku dan kamu menginginkan hubungan ini, padahal kita sama-sama tahu jika hubungan kita ini akan berakhir kan? Tapi kenapa kita memulai dan melanjutkannya hingga saat ini? Karena kita sama-sama menginginkannya.”

Aleta hanya terdiam mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari mulutku. Aku sepertinya tahu apa maksud dari pertanyaannya kali ini. Aku bisa menangkap kegundahannya malam ini.

“Al, tidak ada yang abadi di dunia ini. Hanya akhirlah yang pasti terjadi. Kapan semua itu terjadi semua hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, jauh atau dekat. Akhir itu pasti.”

“Lalu bagaimana kamu bisa menikmatinya jika kamu sudah tahu ini semua kan berakhir?” dia masih mengejarku dengan pertanyaan.

Ku sandarkan punggungku ke ujung ranjang dan menahannya dengan bantal. Aleta pun mengikuti dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Emm.. Kita pernah nonton di bioskop bareng kan Al?” Dia mengangguk pelan.
“Apa kamu menikmatinya?” Lagi-lagi dia hanya mengangguk.
“Kita tahu jika film yang diputar hanya berdurasi sekitar dua jam, dan kita juga tahu jika setelah dua jam itu habis maka film akan berakhir. Tapi kita menikmatinya bukan?” Aku tersnyum.

“Iya, aku menikmati setiap detiknya.” Jawabnya.

“Itu berarti kamu menikmati kesempatanmu saat berada di dalam bioskop, meskipun kamu tahu nantinya akan pulang kan? Itu berarti kamu sudah memprediksi sebuah akhir, dan kamu sudah mempersiapkannya. Akhir itu sederhana kok Al..”

“Berarti kamu sudah memperkirakan akhir dari semua ini?” Dia menegakkan kepalanya dan menatapku. Aku hanya tersenyum saat melihat keingin tahuannya yang semakin besar dari jawaban-jawabanku.

“Sudah. Sejak dari awal saat kita memulainya. Tapi aku tidak tahu kapan waktu yang menjadi batas akhirnya. Bisa tahun depan, bisa bulan depan, bisa minggu depan, bisa besok, bisa malam ini, atau mungkin saat cincin sudah terselip di jari manismu.” Aku hanya bisa tersenyum.

“Kamu nyebelin banget Ray,” Ucapnya sambil memelukku.

“Mungkin kalau aku bukan orang yang menyebalkan, kamu tidak akan penasaran. Apalagi mau memulainya denganku.”

Seketika bantal mendarat di wajahku. Pukulan-pukulan ringan darinya mendarat di tanganku. Dan aku masih menertawakannnya.

“Hei jelek, apa kamu pernah optimis dengan hubungan ini?”

“Tentu saja.” Jawabku yakin.
“Setiap kali kamu bilang cinta, setiap kali kamu menggenggam tanganku, setiap kali kamu memelukku, setiap kali kamu memperhatikanku diam-diam apa lagi saat aku terpejam, setiap kali kamu menciumku, setiap ada kamu lah pokoknya. Tapi tetap saja, akhir ada dimana-mana Al. Kamu tahu itu kan?”

“Iya aku tahu..” Rasanya Aleta mulai menyerah dengan jawabanku.
“Lalu apa kamu akan mengakhirinya nanti?” Lanjutnya

“Tentu saja..”

“Kapan?”

“Jika batas waktu bersamamu sudah habis.”

“Apa kita akan bisa jika saling melepaskan?” Pelukannya kurasakan semakin erat.

“Kita lihat saja nanti, bila akhir sudah bisa kita lihat dengan jelas.”

Tidak kata lagi yang terucap dari bibir ranumnya. Dibenamkannya kepalanya di dadaku yang katanya adalah tempat favoritnya, sementara itu otakku mulai berkecamuk dalam hening. Ku tahan nafasku dan menghembuskannya perlahan-lahan agar tidak mengganggunya.
Ada nyeri yang tiba-tiba muncul saat aku merasakan kaos yang ku kenakan mulai basah, karena aku tahu darimana sumbernya.


***


Aku hanya ingin menikmati saat-saat bersamamu tanpa perlu mengkhawatirkan akhir yang setiap saat bisa datang. Aku hanya ingin melepasmu saat akhir benar-benar telah kita lihat. Jika batas waktunya sudah kita ketahui, kita berdua akan bersiap untuk menyambut akhir dan mempersilakannya masuk dalam hubungan kita.



No comments:

Post a Comment