Kau tahu dengan pasti jika Tuhan selalu menciptakan semua dalam dua sisi.
Baik dan buruk, panjang dan pendek, jauh dan dekat, lalu awal dan akhir. Dua
hal yang terlahir bersamaan dan tak pernah terpisah dalam hal apapun. Semuanya
memiliki batas yang tak pernah bisa kita bantah keberadaannya. Seperti halnya
akhir. Kau tahu, kenapa akhir selalu ada di penghujung? Agar kamu tahu,
bagaimana sebuah awal memenuhi ceritamu dengan banyak hal. Dan tentunya awal
tidak pernah memberi tahumu batas akhirnya.
Tidak ada hal yang tidak memiliki batas, dan tidak ada yang bisa memprediksi
akhir. Dirimu hanya bisa menyiapkan diri sebaik mungkin untuk sebuah akhir saat
merasa sudah mendekatinya, atau mungkin kau bisa membuat akhirmu sendiri saat
dirimu sadar inilah waktu yang tepat untuk mempersilakan akhir masuk mengisi
bagian paling belakang dari ceritamu.
Lalu bagaimana jika akhir datang terlalu cepat? Bagaimana jika ia datang
ketika masih sayang-sayangnya? Bagaimana jika ia datang saat dirimu masih
mendekapnya erat? Bagaimana jika ia datang saat dirimu masih bisa merasakan hangatnya
nafasnya dan mencium aroma khas tubuhnya?
***
Jika
semua orang tahu akan akhir dan mereka juga tahu jika semuanya memiliki batas
waktu, kenapa mereka mau memulai?
***
Matahari
sudah tidak nampak sejak beberapa jam lalu. Suara binatang malam menghiasi
suramnya malam ini. Angin berhembus kencang menerpa dedaunan yang menimbulkan
suara gemerisik pengusik pekat.
Aku
duduk di ranjang dan menyandarkan badanku ke dinding bercat putih dengan
coretan-coretan tentang rencana yang ingin ku jalani bersamanya. Dia yang kini
sedang duduk disebelahku dengan kaos putih favoritnya dan rambut yang di ikat
keatas. Namanya Aleta. Perempuan yang ku suka sejak dua tahun lalu.
“Ray,
aku mau tanya sesuatu.” Ucapnya sambil membenarkan duduknya.
“Apa
Al?” Aku mencoba bicara setenang mungkin. Aku sangat hafal bagaimana cara
bicara wanitaku, jika dia bicara dengan nada seperti ini hanya ada dua
kemungkinan. Pertama dia sedang marah padaku. Kedua, dia ingin berbincang
serius denganku.
Bisa
ku dengar hela nafas panjangnya memenuhi kamar ini. “Tapi aku tidak tau harus
memulainya darimana.”
“Tenang aja. Kamu punya waktu semalaman untuk bertanya
dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Jika masih kurang, besok masih ada
seharian sampai sore.” Aku pindah duduk di depannya, agar dia bisa dengan
leluasa berbicara.
Mata
sayunya masih berputar-putar mencari sesuatu. Entah apa yang ia cari. Pencariannya
berhenti saat pandangan kami bertemu pada satu titik. Dapat ku lihat dengan
jelas, mata jernihnya yang selalu mampu membuatku rindu.
Perlahan
dia kembali membuang nafas berat. “Ray, katakan padaku.. Bagaimana kamu bisa
memulai sesuatu jika kamu tahu itu akan berakhir?”
Aku
hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah apa yang sedang ada dalam kepalanya,
sepertinya sesuatu yang berat sedang melandanya.
“Emmm..
Kenapa kamu memelihara ikan, padahal kamu tahu jika nantinya ikan itu juga akan
mati? Semua diciptakan berpasangan. Ada awal, sudah pasti akan ada akhir.”
“Kalau
memang ada akhir, kenapa orang-orang berusaha untuk mengawali? Padahal sudah
jelas semua akan berakhir.” Aleta seperti tidak mau kalah. Begitulah dia,
selalu tidak ingin mengalah jika lawan bicaranya adalah aku.
“Karena
kamu menginginkannya.” Jawabku.
“Apa
maksudmu?” Dahinya mulai berkerut, matanya mulai terbuka lebar mencermati
jawabanku. Aku memang suka menjawab pertanyaannya dengan jawaban singkat,
dengan begitu aka nada pertanyaan lagi yang akan ia lontarkan kepadaku.
“Ya
gitu..” Aku tertawa melihat ekspresi ingin tahunya. Aku sudah bersiap menerima
cubitan di perutku jika dia sudah kesal.
“Gini
Al.. Semua yang memiliki awal selalu mempunyai akhir. Kalau mereka masih bertanya
kenapa orang-orang berusaha untuk mengawali? Padahal sudah jelas semua akan
berakhir. Jawabanya, karena mereka menginginkannya.”
Sekarang
akulah yang menghela nafas dan kembali menatapnya serius sambil menggenggam
tangannya. “Al.. Aku dan kamu menginginkan hubungan ini, padahal kita sama-sama
tahu jika hubungan kita ini akan berakhir kan? Tapi kenapa kita memulai dan
melanjutkannya hingga saat ini? Karena kita sama-sama menginginkannya.”
Aleta
hanya terdiam mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari mulutku. Aku sepertinya
tahu apa maksud dari pertanyaannya kali ini. Aku bisa menangkap kegundahannya malam
ini.
“Al,
tidak ada yang abadi di dunia ini. Hanya akhirlah yang pasti terjadi. Kapan semua
itu terjadi semua hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, jauh atau dekat. Akhir
itu pasti.”
“Lalu
bagaimana kamu bisa menikmatinya jika kamu sudah tahu ini semua kan berakhir?”
dia masih mengejarku dengan pertanyaan.
Ku
sandarkan punggungku ke ujung ranjang dan menahannya dengan bantal. Aleta pun
mengikuti dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Emm..
Kita pernah nonton di bioskop bareng kan Al?” Dia mengangguk pelan.
“Apa
kamu menikmatinya?” Lagi-lagi dia hanya mengangguk.
“Kita
tahu jika film yang diputar hanya berdurasi sekitar dua jam, dan kita juga tahu
jika setelah dua jam itu habis maka film akan berakhir. Tapi kita menikmatinya
bukan?” Aku tersnyum.
“Iya,
aku menikmati setiap detiknya.” Jawabnya.
“Itu
berarti kamu menikmati kesempatanmu saat berada di dalam bioskop, meskipun kamu
tahu nantinya akan pulang kan? Itu berarti kamu sudah memprediksi sebuah akhir,
dan kamu sudah mempersiapkannya. Akhir itu sederhana kok Al..”
“Berarti
kamu sudah memperkirakan akhir dari semua ini?” Dia menegakkan kepalanya dan
menatapku. Aku hanya tersenyum saat melihat keingin tahuannya yang semakin
besar dari jawaban-jawabanku.
“Sudah.
Sejak dari awal saat kita memulainya. Tapi aku tidak tahu kapan waktu yang
menjadi batas akhirnya. Bisa tahun depan, bisa bulan depan, bisa minggu depan,
bisa besok, bisa malam ini, atau mungkin saat cincin sudah terselip di jari
manismu.” Aku hanya bisa tersenyum.
“Kamu
nyebelin banget Ray,” Ucapnya sambil memelukku.
“Mungkin
kalau aku bukan orang yang menyebalkan, kamu tidak akan penasaran. Apalagi mau
memulainya denganku.”
Seketika
bantal mendarat di wajahku. Pukulan-pukulan ringan darinya mendarat di tanganku.
Dan aku masih menertawakannnya.
“Hei
jelek, apa kamu pernah optimis dengan hubungan ini?”
“Tentu
saja.” Jawabku yakin.
“Setiap
kali kamu bilang cinta, setiap kali kamu menggenggam tanganku, setiap kali kamu
memelukku, setiap kali kamu memperhatikanku diam-diam apa lagi saat aku
terpejam, setiap kali kamu menciumku, setiap ada kamu lah pokoknya. Tapi tetap
saja, akhir ada dimana-mana Al. Kamu tahu itu kan?”
“Iya
aku tahu..” Rasanya Aleta mulai menyerah dengan jawabanku.
“Lalu
apa kamu akan mengakhirinya nanti?” Lanjutnya
“Tentu
saja..”
“Kapan?”
“Jika
batas waktu bersamamu sudah habis.”
“Apa
kita akan bisa jika saling melepaskan?” Pelukannya kurasakan semakin erat.
“Kita
lihat saja nanti, bila akhir sudah bisa kita lihat dengan jelas.”
Tidak
kata lagi yang terucap dari bibir ranumnya. Dibenamkannya kepalanya di dadaku
yang katanya adalah tempat favoritnya, sementara itu otakku mulai berkecamuk
dalam hening. Ku tahan nafasku dan menghembuskannya perlahan-lahan agar tidak
mengganggunya.
Ada
nyeri yang tiba-tiba muncul saat aku merasakan kaos yang ku kenakan mulai basah,
karena aku tahu darimana sumbernya.
***
Aku
hanya ingin menikmati saat-saat bersamamu tanpa perlu mengkhawatirkan akhir
yang setiap saat bisa datang. Aku hanya ingin melepasmu saat akhir benar-benar
telah kita lihat. Jika batas waktunya sudah kita ketahui, kita berdua akan
bersiap untuk menyambut akhir dan mempersilakannya masuk dalam hubungan kita.
No comments:
Post a Comment