Translate

Thursday, 4 June 2015

Rumah Impian

Jam 15.48. Matahari masih terik. Kita duduk di sebelah ayunan sebuah taman kota. Aku masih sibuk dengan gadgetku saat kau mulai berbicara panjang lebar. Ku membalikkan tubuhmu kebelakang, ku pikir kau marah. Tapi kau sedang serius mengamati rumah minimalis yang berada tepat diseberang jalan.

"Aku mau punya rumah minimalis seperti itu." Ucapmu sambil menunjuk ke sebuah rumah bercat biru langit dengan arsitektur klasik.

"Iya nanti bikin yang kaya' gitu." Jawabku enteng.

"Tapi aku mau yang ada pohon mangga manalagi yang besar terus banyak buahnya."

"Pohon mangga besar ya? Gak mau yang kecil?" Tanyaku. Kamu hanya menggelengkan kepala.
"Baiklah.. Entar tanam pohonnya dulu. 10 - 15 tahun atau mungkin bisa lebih, terus tungguin buahnya banyak, baru deh bangun rumahnya." Kau hanya tertawa mendengar jawabanku dan mencubit perutku.

"Aku ingin rumahnya ada ruang baca dengan rak yang di penuhi buku, lalu ada jendela besar disana yang mengarah ke taman dengan kolam kecil yang ada ikannya. Lalu aku ingin dapur bersih dengan peralatan masak yang lengkap. Terus aku ingin meja makan panjang seperti di bar. Terus ruang tamunya minimalis aja, di dindingnya di gantung lukisan pohon dengan sungai atau air terjunnya. Biar adem." Dia berbicara panjang lebar dan aku mendengarkan sambil membayangkan bagaimana jadinya.
"Eh iya, pengen ada ring basketnya juga." Tambahnya sambil tersenyum.

"Lah, gak jadi minimalis dong?"

"Ya tetep minimalis."

"Tapi kok pengen ada ring basket, terus taman yang ada kolamnya."

"Iya juga sih ya, kalau gitu nyari rumah yang deket lapangan basket aja deh. Jadi kalau pengen main tinggal lompat pagar. Atau bikin rumah yang deket danau aja? Wah, bisa-bisa aku gak pulang-pulang kalau udah di pinggir danau." Dia kembali tertawa.

"Bagus dong, karena ada tempat yang bisa bikin kamu tenang."

"Tapi sama kamu ya?"

***

Siang menjelang sore dengan percakapan tentang sebuah bangunan yang ingin kau miliki nanti. Semua terasa begitu nyata. Aku masih bisa ingat raut wajahmu yang bahagia itu, saat berbicara tentang rumah impianmu. Kau tau, dirimu seperti anak kecil yang harus aku iyakan setiap keinginanmu, kalau tidak pasti kamu memasang wajah cemberut dan mengembungkan pipimu.

Aku bahagia dengan gambaran tentang masa depan kita yang saat itu belum kita ketahui ujungnya. Semu, tapi entah kenapa itu menyenangkan. Aku hanya terus mengikutimu membicarakan tentang mimpimu dan mimpiku, dan tak ingin tersadar dari semua ini. Karena saat aku sadar, aku harus kembali berhadapan dengan realita yang tidak bisa kita pastikan.

Aku bahagia tentang mimpi-mimpi yang kita bicarakan bersama, seolah memberikan kita dunia yang indah sesuai dengan kemauan kita. Aku bahagia dengan semua mimpi ini, hingga aku tidak ingin terbangun. Aku takut. Aku takut jika aku bangun dan rumah itu selesai ku bangun, bukan kamu yang tersenyum saat aku katakan "Lihatlah, rumah impianmu sudah jadi!".

Aku sama sepertimu, menginginkan rumah yang seperti kau impikan, tapi harus satu paket dengan dirimu.

2 comments: