Dimana sisi
romantis dari sebuah kedai kopi?
Pertanyaan konyol
itu terlontar dari seorang penikmat kopi dengan buih lembut ditambah taburan choco
granule berbentuk hati diatasnya. Aneh memang, tapi pertanyaan itu membuatku
berpikir dan mencari tahu letak sisi romantis dari sebuah kedai kopi yang
sering kali ku tulis dalam ceritaku yang menjadi tempat dimana debar rasa mulai
berjumpa.
Pertama, aku mulai
dari aroma kopi yang bercampur dengan oksigen yang menyusup masuk ke rongga
paru-paru melewati lubang hidungku. Lalu ada kursi dan meja kayu yang terletak
di pojokan ruangan yang bersebelahan langsung dengan jendela kaca besar dengan
pemandangan hiruk pikuk jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor.
Musik melow yang senantiasa berkumandang lirih dari speaker aktif. Nihil. Aku
belum menemukan sisi romantis.
“Ah, mungkin pada
barista yang selalu dengan sengaja menuliskan nama dengan ejaan yang salah dan
emot yang terkadang menyebalkan.” Pikirku.
Sengaja aku pergi
membeli segelas kopi disalah satu kafe di pusat perbelanjaan daerah sudirman. Ku
pandangi gelas yang berisi kopi dengan ejaan namaku yang salah. Cukup lama aku
bertahan untuk menemukan apa yang ku cari, tapi tetap tidak ku temukan. Sial!
Pertanyaan itu lebih menyebalkan dari kopi yang sudah dingin sebelum aku
menghabiskannya.
Hari ini dia
mengajakku bertemu disebuah taman kota yang tak jauh dari kedai kopi tempat
biasa kami menghabiskan waktu untuk sekedar membunuh bosan. Entah kenapa tiba-tiba
dia mengajakku kesana.
Aku menunggunya
disebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke air mancur yang ada di
tengah-tengah taman. Aku tidak hanya diam disana, otakku masih bekerja aktif
untuk mencari jawaban tentang sisi romantis dari sebuah kedai kopi.
“Hei.. Ngelamun
aja bang!”
Akhirnya dia
muncul juga. Kaos putih polos dibalut dengan kemeja kotak-kotak yang sengaja tidak
di kancingkan, celana pendek jeans, dan rambut yang di biarkan terurai, ditambah lagi dengan senyum manis yang membuat kedua
matanya seolah hilang. Cantik. Beberapa detik aku terbius pesonanya.
“Eh, ngapain
ngajakin ketemu disini?” Tanyaku sesaat setelah dia duduk disebelahku.
“Coba lihat
keatas.” Jawabnya. Tanpa berpikir panjang aku langsung mendongak keatas.
“Ada apa sih?” Aku
masih bingung.
“Kamu terlalu
sibuk dengan kedai kopi sampai kamu melupakan sesuatu yang menurutmu dulu lebih
romantis dari apapun.” Ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuatku
rindu.
Lupa? Apa yang aku
lupakan? Ah.. Aku masih tidak mengerti dengan ucapannya, bukankah dia yang
bertanya tentang sisi romantis dari sebuah kedai kopi sehingga aku terus
berpikir untuk mencari jawabannya. Lalu sekarang apa yang aku lupakan?
“Apaan sih? Kok
aku tetep gak ingat ya?” Aku masih penasaran dengan apa yang aku lupakan. Ah,
benarkah aku melupan sesuatu itu? Lalu apa?
Dia tersenyum.
Baiklah, kali ini dia menyebalkan. Aku mencoba menghaluskan pertanyaanku dan
berharap dia mau menjawab apa yang telah dengan tidak sengaja ku lupakan.
Sesuatu yang lebih romantis dari sebuah kedai kopi yang sedang ku gandrungi
beberapa waktu ini.
“Ayolah, coba
katakan padaku apa yang aku lupakan? Eh, yang tidak sengaja aku lupakan?” Ke
berikan senyum termanis agar hatinya luluh.
“Ih udah diberi
tau tapi tetep lupa, kamu gak peka ih!” Dia malah cemberut.
Tuhan, harusnya
aku yang cemberut karena kebingungan mencari jawaban dari pertanyaannya tapi
kenapa ini malah sebaliknya? Huh. Ku hela nafas panjangku agar tetap stay cool
menghadapinya. Baiklah! Mungkin karena cewek memiliki hak khusus untuk cemberut
dalam hal apapun meskipun dia yang sedang menyebalkan
“Bukankah kita
udah sepasang dari lahir, masa’ gak mau ngingetin sih?” Aku memasang wajah
memelas, mungkin saja dengan begini bisa berhasil.
Kulihat dia
menghembuskan nafas panjang kemudian menatap lurus kedepan tanpa menoleh
sedikitpun kepadaku. Lalu ada segurat senyum dibibirnya, dan aku masih belum
mengerti apa maksudnya.
“Jadi gini, “
“Iya aku
dengerin.” Aku memotong perkataannya dan lagi-lagi dengan otomatis bibirku ku
tarik berlawanan arah hingga membentuk sebuah senyuman untuknya. Dia menoleh
dan menatapku. Tangannya diletakkan di kedua pipiku. Ah, senyumnya itu kembali
membuatku tak berdaya.
“Sepasang itu
bukan cuma karena kita bareng-bareng terus. Yang namanya sepasang itu, saat
kamu lupa aku mengingatkan. Saat kamu sedih, aku menyenangkan. Saat kamu marah,
aku menenangkan. Sepasang itu melengkapi.”
“Kalau kamu
nyebelin, aku gimana?”
“Ya kamu harus
nyari tau kenapa aku sebel sama kamu.” Cemberut part 2. Mungkin itu judul yang
cocok untuk cemberutnya kali ini.
“Baiklah, aku
mnyerah! Aku benar-benar sudah mencari tapi aku belum tau. Dan sekarang kamu
mengajukan pertanyaan lagi. Jadi, kamu yang sejak awal musim panas dua tahun
lalu menjadi pasanganku, tolong berikan aku jawaban dari pertanyaanmu dan
ingatkan aku dari sesuatu yang aku lupakan itu.”
“Coba lihatlah
keatas, langitnya keren ya?” Ucapnya sambil tersenyum.
Ya Tuhan. Langit. Benar,
sesuatu yang terlupa itu adalah langit.
***
Langit
itu romantis. Awan putih dengan warna latar biru muda menyimpan banyak cerita
bahagia, warna jingganya seakan menampung semua luka. Langit bisa membuatmu
jatuh cinta hingga kehabisan kata, namun juga bisa membuka luka yang tertutup
kembali menganga.
Aku
pernah bercerita tentang aku yang begitu menggilai langit musim panas. Selalu
ada senyum yang entah datang dari mana setiap kali aku melihat langit siang
musim panas, dan selalu ada tenang saat bintang-bintang bertaburan kala malam.
Tak ada alasan yang luar biasa kenapa langit begitu semenarik itu untukku.
Langit
seperti memiliki pintu menuju masa lalu.
Saat
ini aku sedang duduk sendiri ditemani secangkir ristretto dan segelas iced cappuccino dengan krim dan
taburan coklat bubuk diatasnya ditambah hiasan buah strawberry segar disisi
gelasnya. Sayup-sayup terdengar kicauan burung Murai Batu yang terselip
diantara alunan sendu dari Naff - Tak Seindah Cinta yang Semestinya.
Ditempat
ini, takdir mempertemukanku dengannya dan langit berlatar biru menjadi saksi
dari hancurnya sebuah hati. Aku ingat dengan jelas saat airmata tertahan
disudut matanya yang memerah ketika laki-laki yang duduk bersamanya untuk
beberapa waktu beranjak pergi. Dia terdiam tak bersuara, tangannya mencoba
menahan langkah laki-laki itu, namun tak diindahkan. Wajahnya tertunduk lemah
saat genggaman tangannya terlepas, dan sosok laki-laki itu menghilang dibalik
pintu.
Saat itu aku hanya
mampu menelan ludah, dan mencoba kembali fokus pada laptopku, tapi tak bisa.
Baiklah, katakan saja aku bodoh karena membiarkan seorang gadis menangis
dihadapanku. Aku berdiri dan mendekatinya untuk meminjamkan bahuku sebagai
tempatnya bersandar dan menangis. Aku berusaha menenangkannya sambil meminta
maaf pada pengunjung kafe lain karena terganggu dengan tangisan gadis ini. Ah,
tapi itu hanya bayanganku saja. Nyatanya aku masih diam disini sambil sesekali
mencuri pandang kearahnya.
Dia
masih menunduk, dijadikannya tangan putihnya sebagai bantal agar kepalanya tak
bersentuhan langsung dengan kerasnya meja kafe yang terbuat dari kayu Jati. Ada
rasa miris menyeruak dari hatiku. Andai bisa, aku ingin menghampirimu dan
bertanya “Apa kau baik-baik saja?” Hanya sekedar basa-basi pencair kebekuan,
walau aku tahu dia tidak dalam keadaan baik. Andai saja kata andai tidak pernah
ada.
Dia mulai bangkit,
membereskan hp yang tergeletak dimeja dan menaruhnya kedalam tas warna coklat.
Dengan sisa airmata yang telah mulai kering, ia mulai berjalan keluar
meninggalkan kafe. Entah apa yang aku pikirkan, aku hanya ingin memastikan jika
gadis itu tidak akan melakukan hal-hal gila yang membahayakannya. Akhirnya aku
mengikutinnya.
Kata
orang, Awal rasa suka, dimulai dari tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.
Dia
berjalan menuju pantai yang letaknya memang hanya ada diseberang jalan tempat
kafe tadi. Desir ombak yang menyapu garis pantai, semilir angin yang
menerbangkan beberapa helai rambutnya, dan sinar jingga yang memayunginya.
Masih dengan bulir-bulir bening yang bersumber dari mata indahnya. Dia duduk di
sebuah batu dan menatap jauh kearah matahari yang hampir tertelan samudera
seluruhnya.
Cukup
lama dia menatapnya seperti itu. Miris. Saat melihat cinta tidak berjalan
dengan sederhana, sesederhana saat dia menjatuhkannya di hati.
“Hei
nona, pulanglah!” Aku mencoba memberanikan diriku untuk bersuara. Dan dia hanya
menoleh dan menatapku heran.
“Kamu
tidak cocok dengan senja.” Lanjutku.
“Bukan
urusanmu, pergilah!” Jawabnya dengan suara serak, mungkin karena lelah
menangis.
“Hei,
senja akan semakin membuatmu terluka lebih dalam.”
Dia
hanya menatapku heran. Entah kekuatan dari mana sampai aku berani
menghampirinya. Aku tau di takut, ditempat sepi kemudian ada seorang laki-laki
asing menghampirinya. Kemudian ia berdiri dan mencoba beranjak pergi dari
tempatnya duduk.
“Tunggu,
aku tidak akan menyakitimu.” Ucapku. Namun tatapannya masih mengisyaratkan
ketakutan, seolah aku ini adalah penjahat yang akan berbuat tidak baik padanya.
Aku
mulai mendekatinya dan dia seperti bersiap untuk melemparku dengan sepatu yang
tadi dilepasnya saat berjalan di pasir pantai. Ini kebetulan, ah bukan ini adalah
takdir. Dia mulai tenang saat aku duduk dengan jarak dua meter dari tempatnya
berdiri.
“Duduklah,
aku tidak akan berbuat jahat padamu. Aku hanya ingin duduk disini dan
memperlihatkan sesuatu padamu.” Ucapku sambil melemparkan sebuah senyum
untuknya yang terlihat begitu kacau. Lalu ku lihat dia mulai lebih tenang dan
kembali duduk.
Beberapa
puluh menit kami terbelenggu dalam hening. Hanya ada suara angin yang menyapu
daun-daun yang menciptakan suara gemerisik, dan ombak laut yang saling
bertabrakan. Langit sudah semakin gelap, dan dia masih tenang dalam duduknya.
“Hei
kamu, lihatlah keatas!” Teriakku.
“Kenapa?”
Dia mulai mau membuka suara.
“Bintannya
banyak banget. Sekarang adalah musim panas, dan bintang-bintang akan muncul
dengan indah saat malam di musim seperti ini.” Dia hanya mendongak sambil
memperhatikan kerlip-kerlip cahaya yang ada di langit.
“Kau
tahu jika langit bisa menyimpan rasa dari hati?” Dia hanya menggeleng pelan.
“Orang
cenderung menyimpan kesedihan di langit mendung dan mengeluarkannya lewat tetes
air hujan. Dan orang menyimpan luka pada senja.”
“Benarkah?
Lalu dimana orang-orang menyimpan kebahagiaannya?”
“Mereka
menyimpannya di langit siang saat musim panas.” Jawabku. Dia terlihat masih
berpikir.
“Dan
mereka menyimpan senyum di balik bintang-bintang saat musim panas seperti hari
ini.”
“Oh,
jadi karena itu kamu tadi menyuruhku pulang saat senja lalu seenaknya
menyuruhku untuk menunggu gelap sampai bintang terlihat?” Ucapannya masih
bernada tinggi.
“Iya,
biar kamu tidak kembali terluka dan bisa tersenyum lagi saat sudah melihat
bintang.”
***
Lucu
memang, pertemuan di kedai kopi dan berlanjut dengan perkenalan dibawah langit malam
musim panas. Tapi yang ku ingat malah hanya kedai kopi yang menjadi tempat paling
romantic untuk sepasang hati bertemu. Padahal dimanapun itu, selama ada langit
akan menjadi tempat yang romantis.
“Tunggu!
Lalu dimana sisi romantis dari sebuah kedai kopi?” Aku masih penasaran.
“Ray,
masa’ kamu gak tau sih?”Jawabnya. Sungguh, aku tidak tahu apa yang romantis
disana. Karena aku hanya menulisnya sesuai dengan imajinasiku saja.
“Sisi
romantisnya ada di setiap cangkir kopi yang di sajikan barista dan bersebelahan
dengan cheese cake, lalu ada aku dan kamu yang berbagi banyak cerita disana.
Sesederhana itu.” Jawabnya sambil tersenyum.
Ya
Tuhan, benarkah seperti itu? Entahlah. Aku hanya tersenyum lebar saat mendengar
jawabannya itu. Ku pikir aku sedang dihadapkan pada pertanyaan yang sangat
rumit, hingga aku mengumpulkan semua hipotesa tentang kedai kopi beserta
kopinya, ternyata jawaban yang kucari hanya sesederhana ini.
Mungkin
ini juga seperti cinta. Sesederhana aku melihatnya di kedai kopi, dilanjut
perbincangan di bawah langit penuh bintang saat dia sedang hancur-hancurnya. Memang tidak semua kehilangan itu
gampang untuk dilupakan. Tapi kehilangan yang sulit dilupakan pun, pada
akhirnya akan tergantikan. Dan inilah aku sekarang, menjadi orang yang sangat
beruntung telah dicintai olehnya.
“Eh iya, mungkin kamu lupa sesuatu
atau mungkin pura-pura lupa.”
“Apaan?” Tanyanya heran.
Aku mengambil sebuah mini tart yang
sedari tadi ku letakkan di bawah kursi tempat kami duduk.
“Happy Birthday pasangan se-ultahku,
Shania Ardianta eh salah, Shania Junianatha. Semoga selalu menjadi pribadi yang
keren, baik hati, selalu mencintai orang-orang yang mencintaimu dengan sepenuh
hati. Stay health, stay strong, stay happy, and wish you all the best. Mungkin masih
ada banyak orang yang lebih baik dari kamu, tapi semua yang ku butuhkan ada
padamu. Jadi tetaplah bersamaku dalam waktu yang sangat lama.”
Dia hanya tersenyum dengan mata
berkaca-kaca.
“Happy Birthday juga Ray Ardianta,
terus dukung aku untuk menjadi lebih baik, dan menjadi segala yang bisa menjadi
hal baik untukmu dan untuk orang lain juga. Teruslah bahagia, karena sebelum
membagi kebahagiaan untuk orang lain, kamu harus bahagia terlebih dulu.”
***
Faktanya, aku dan dia lahir pada
tanggal dan bulan yang sama. Tuhan tak buat kebetulan sebagai alasan, karena
semua sudah ditetapkan. Kesamaan ulang tahun kami, pertemuan kami, dan
bersatunya hati kami sudah ada sesuai timeline
yang di gariskan oleh Tuhan.
Selamat ulang tahun Shania
Junianatha.
No comments:
Post a Comment