Translate

Monday, 29 June 2015

Harmoni Langit dan Kedai Kopi



Dimana sisi romantis dari sebuah kedai kopi?

Pertanyaan konyol itu terlontar dari seorang penikmat kopi dengan buih lembut ditambah taburan choco granule berbentuk hati diatasnya. Aneh memang, tapi pertanyaan itu membuatku berpikir dan mencari tahu letak sisi romantis dari sebuah kedai kopi yang sering kali ku tulis dalam ceritaku yang menjadi tempat dimana debar rasa mulai berjumpa.

Pertama, aku mulai dari aroma kopi yang bercampur dengan oksigen yang menyusup masuk ke rongga paru-paru melewati lubang hidungku. Lalu ada kursi dan meja kayu yang terletak di pojokan ruangan yang bersebelahan langsung dengan jendela kaca besar dengan pemandangan hiruk pikuk jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor. Musik melow yang senantiasa berkumandang lirih dari speaker aktif. Nihil. Aku belum menemukan sisi romantis.

“Ah, mungkin pada barista yang selalu dengan sengaja menuliskan nama dengan ejaan yang salah dan emot yang terkadang menyebalkan.” Pikirku.

Sengaja aku pergi membeli segelas kopi disalah satu kafe di pusat perbelanjaan daerah sudirman. Ku pandangi gelas yang berisi kopi dengan ejaan namaku yang salah. Cukup lama aku bertahan untuk menemukan apa yang ku cari, tapi tetap tidak ku temukan. Sial! Pertanyaan itu lebih menyebalkan dari kopi yang sudah dingin sebelum aku menghabiskannya.

Hari ini dia mengajakku bertemu disebuah taman kota yang tak jauh dari kedai kopi tempat biasa kami menghabiskan waktu untuk sekedar membunuh bosan. Entah kenapa tiba-tiba dia mengajakku kesana.

Aku menunggunya disebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke air mancur yang ada di tengah-tengah taman. Aku tidak hanya diam disana, otakku masih bekerja aktif untuk mencari jawaban tentang sisi romantis dari sebuah kedai kopi.

“Hei.. Ngelamun aja bang!”

Akhirnya dia muncul juga. Kaos putih polos dibalut dengan kemeja kotak-kotak yang sengaja tidak di kancingkan, celana pendek jeans, dan rambut yang di biarkan terurai, ditambah lagi dengan senyum manis yang membuat kedua matanya seolah hilang. Cantik. Beberapa detik aku terbius pesonanya.

“Eh, ngapain ngajakin ketemu disini?” Tanyaku sesaat setelah dia duduk disebelahku.

“Coba lihat keatas.” Jawabnya. Tanpa berpikir panjang aku langsung mendongak keatas.

“Ada apa sih?” Aku masih bingung.

“Kamu terlalu sibuk dengan kedai kopi sampai kamu melupakan sesuatu yang menurutmu dulu lebih romantis dari apapun.” Ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuatku rindu.

Lupa? Apa yang aku lupakan? Ah.. Aku masih tidak mengerti dengan ucapannya, bukankah dia yang bertanya tentang sisi romantis dari sebuah kedai kopi sehingga aku terus berpikir untuk mencari jawabannya. Lalu sekarang apa yang aku lupakan?

“Apaan sih? Kok aku tetep gak ingat ya?” Aku masih penasaran dengan apa yang aku lupakan. Ah, benarkah aku melupan sesuatu itu? Lalu apa?

Dia tersenyum. Baiklah, kali ini dia menyebalkan. Aku mencoba menghaluskan pertanyaanku dan berharap dia mau menjawab apa yang telah dengan tidak sengaja ku lupakan. Sesuatu yang lebih romantis dari sebuah kedai kopi yang sedang ku gandrungi beberapa waktu ini.

“Ayolah, coba katakan padaku apa yang aku lupakan? Eh, yang tidak sengaja aku lupakan?” Ke berikan senyum termanis agar hatinya luluh.

“Ih udah diberi tau tapi tetep lupa, kamu gak peka ih!” Dia malah cemberut.


Tuhan, harusnya aku yang cemberut karena kebingungan mencari jawaban dari pertanyaannya tapi kenapa ini malah sebaliknya? Huh. Ku hela nafas panjangku agar tetap stay cool menghadapinya. Baiklah! Mungkin karena cewek memiliki hak khusus untuk cemberut dalam hal apapun meskipun dia yang sedang menyebalkan

“Bukankah kita udah sepasang dari lahir, masa’ gak mau ngingetin sih?” Aku memasang wajah memelas, mungkin saja dengan begini bisa berhasil.

Kulihat dia menghembuskan nafas panjang kemudian menatap lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Lalu ada segurat senyum dibibirnya, dan aku masih belum mengerti apa maksudnya.

“Jadi gini, “

“Iya aku dengerin.” Aku memotong perkataannya dan lagi-lagi dengan otomatis bibirku ku tarik berlawanan arah hingga membentuk sebuah senyuman untuknya. Dia menoleh dan menatapku. Tangannya diletakkan di kedua pipiku. Ah, senyumnya itu kembali membuatku tak berdaya.

“Sepasang itu bukan cuma karena kita bareng-bareng terus. Yang namanya sepasang itu, saat kamu lupa aku mengingatkan. Saat kamu sedih, aku menyenangkan. Saat kamu marah, aku menenangkan. Sepasang itu melengkapi.”

“Kalau kamu nyebelin, aku gimana?”

“Ya kamu harus nyari tau kenapa aku sebel sama kamu.” Cemberut part 2. Mungkin itu judul yang cocok untuk cemberutnya kali ini.


“Baiklah, aku mnyerah! Aku benar-benar sudah mencari tapi aku belum tau. Dan sekarang kamu mengajukan pertanyaan lagi. Jadi, kamu yang sejak awal musim panas dua tahun lalu menjadi pasanganku, tolong berikan aku jawaban dari pertanyaanmu dan ingatkan aku dari sesuatu yang aku lupakan itu.”

“Coba lihatlah keatas, langitnya keren ya?” Ucapnya sambil tersenyum.

Ya Tuhan. Langit. Benar, sesuatu yang terlupa itu adalah langit.

***

Langit itu romantis. Awan putih dengan warna latar biru muda menyimpan banyak cerita bahagia, warna jingganya seakan menampung semua luka. Langit bisa membuatmu jatuh cinta hingga kehabisan kata, namun juga bisa membuka luka yang tertutup kembali menganga.

Aku pernah bercerita tentang aku yang begitu menggilai langit musim panas. Selalu ada senyum yang entah datang dari mana setiap kali aku melihat langit siang musim panas, dan selalu ada tenang saat bintang-bintang bertaburan kala malam. Tak ada alasan yang luar biasa kenapa langit begitu semenarik itu untukku.

Langit seperti memiliki pintu menuju masa lalu.

Saat ini aku sedang duduk sendiri ditemani secangkir ristretto dan segelas iced cappuccino dengan krim dan taburan coklat bubuk diatasnya ditambah hiasan buah strawberry segar disisi gelasnya. Sayup-sayup terdengar kicauan burung Murai Batu yang terselip diantara alunan sendu dari Naff - Tak Seindah Cinta yang Semestinya.


Ditempat ini, takdir mempertemukanku dengannya dan langit berlatar biru menjadi saksi dari hancurnya sebuah hati. Aku ingat dengan jelas saat airmata tertahan disudut matanya yang memerah ketika laki-laki yang duduk bersamanya untuk beberapa waktu beranjak pergi. Dia terdiam tak bersuara, tangannya mencoba menahan langkah laki-laki itu, namun tak diindahkan. Wajahnya tertunduk lemah saat genggaman tangannya terlepas, dan sosok laki-laki itu menghilang dibalik pintu.

Saat itu aku hanya mampu menelan ludah, dan mencoba kembali fokus pada laptopku, tapi tak bisa. Baiklah, katakan saja aku bodoh karena membiarkan seorang gadis menangis dihadapanku. Aku berdiri dan mendekatinya untuk meminjamkan bahuku sebagai tempatnya bersandar dan menangis. Aku berusaha menenangkannya sambil meminta maaf pada pengunjung kafe lain karena terganggu dengan tangisan gadis ini. Ah, tapi itu hanya bayanganku saja. Nyatanya aku masih diam disini sambil sesekali mencuri pandang kearahnya.

Dia masih menunduk, dijadikannya tangan putihnya sebagai bantal agar kepalanya tak bersentuhan langsung dengan kerasnya meja kafe yang terbuat dari kayu Jati. Ada rasa miris menyeruak dari hatiku. Andai bisa, aku ingin menghampirimu dan bertanya “Apa kau baik-baik saja?” Hanya sekedar basa-basi pencair kebekuan, walau aku tahu dia tidak dalam keadaan baik. Andai saja kata andai tidak pernah ada.

Dia mulai bangkit, membereskan hp yang tergeletak dimeja dan menaruhnya kedalam tas warna coklat. Dengan sisa airmata yang telah mulai kering, ia mulai berjalan keluar meninggalkan kafe. Entah apa yang aku pikirkan, aku hanya ingin memastikan jika gadis itu tidak akan melakukan hal-hal gila yang membahayakannya. Akhirnya aku mengikutinnya.

Kata orang, Awal rasa suka, dimulai dari tidak ingin terjadi apa-apa dengannya.

Dia berjalan menuju pantai yang letaknya memang hanya ada diseberang jalan tempat kafe tadi. Desir ombak yang menyapu garis pantai, semilir angin yang menerbangkan beberapa helai rambutnya, dan sinar jingga yang memayunginya. Masih dengan bulir-bulir bening yang bersumber dari mata indahnya. Dia duduk di sebuah batu dan menatap jauh kearah matahari yang hampir tertelan samudera seluruhnya.

Cukup lama dia menatapnya seperti itu. Miris. Saat melihat cinta tidak berjalan dengan sederhana, sesederhana saat dia menjatuhkannya di hati.

“Hei nona, pulanglah!” Aku mencoba memberanikan diriku untuk bersuara. Dan dia hanya menoleh dan menatapku heran.
“Kamu tidak cocok dengan senja.” Lanjutku.

“Bukan urusanmu, pergilah!” Jawabnya dengan suara serak, mungkin karena lelah menangis.

“Hei, senja akan semakin membuatmu terluka lebih dalam.”


Dia hanya menatapku heran. Entah kekuatan dari mana sampai aku berani menghampirinya. Aku tau di takut, ditempat sepi kemudian ada seorang laki-laki asing menghampirinya. Kemudian ia berdiri dan mencoba beranjak pergi dari tempatnya duduk.

“Tunggu, aku tidak akan menyakitimu.” Ucapku. Namun tatapannya masih mengisyaratkan ketakutan, seolah aku ini adalah penjahat yang akan berbuat tidak baik padanya.

Aku mulai mendekatinya dan dia seperti bersiap untuk melemparku dengan sepatu yang tadi dilepasnya saat berjalan di pasir pantai. Ini kebetulan, ah bukan ini adalah takdir. Dia mulai tenang saat aku duduk dengan jarak dua meter dari tempatnya berdiri.

“Duduklah, aku tidak akan berbuat jahat padamu. Aku hanya ingin duduk disini dan memperlihatkan sesuatu padamu.” Ucapku sambil melemparkan sebuah senyum untuknya yang terlihat begitu kacau. Lalu ku lihat dia mulai lebih tenang dan kembali duduk.

Beberapa puluh menit kami terbelenggu dalam hening. Hanya ada suara angin yang menyapu daun-daun yang menciptakan suara gemerisik, dan ombak laut yang saling bertabrakan. Langit sudah semakin gelap, dan dia masih tenang dalam duduknya.

“Hei kamu, lihatlah keatas!” Teriakku.

“Kenapa?” Dia mulai mau membuka suara.

“Bintannya banyak banget. Sekarang adalah musim panas, dan bintang-bintang akan muncul dengan indah saat malam di musim seperti ini.” Dia hanya mendongak sambil memperhatikan kerlip-kerlip cahaya yang ada di langit.


“Kau tahu jika langit bisa menyimpan rasa dari hati?” Dia hanya menggeleng pelan.
“Orang cenderung menyimpan kesedihan di langit mendung dan mengeluarkannya lewat tetes air hujan. Dan orang menyimpan luka pada senja.”

“Benarkah? Lalu dimana orang-orang menyimpan kebahagiaannya?”

“Mereka menyimpannya di langit siang saat musim panas.” Jawabku. Dia terlihat masih berpikir.
“Dan mereka menyimpan senyum di balik bintang-bintang saat musim panas seperti hari ini.”

“Oh, jadi karena itu kamu tadi menyuruhku pulang saat senja lalu seenaknya menyuruhku untuk menunggu gelap sampai bintang terlihat?” Ucapannya masih bernada tinggi.

“Iya, biar kamu tidak kembali terluka dan bisa tersenyum lagi saat sudah melihat bintang.”

***

Lucu memang, pertemuan di kedai kopi dan berlanjut dengan perkenalan dibawah langit malam musim panas. Tapi yang ku ingat malah hanya kedai kopi yang menjadi tempat paling romantic untuk sepasang hati bertemu. Padahal dimanapun itu, selama ada langit akan menjadi tempat yang romantis.

“Tunggu! Lalu dimana sisi romantis dari sebuah kedai kopi?” Aku masih penasaran.

“Ray, masa’ kamu gak tau sih?”Jawabnya. Sungguh, aku tidak tahu apa yang romantis disana. Karena aku hanya menulisnya sesuai dengan imajinasiku saja.
“Sisi romantisnya ada di setiap cangkir kopi yang di sajikan barista dan bersebelahan dengan cheese cake, lalu ada aku dan kamu yang berbagi banyak cerita disana. Sesederhana itu.” Jawabnya sambil tersenyum.

Ya Tuhan, benarkah seperti itu? Entahlah. Aku hanya tersenyum lebar saat mendengar jawabannya itu. Ku pikir aku sedang dihadapkan pada pertanyaan yang sangat rumit, hingga aku mengumpulkan semua hipotesa tentang kedai kopi beserta kopinya, ternyata jawaban yang kucari hanya sesederhana ini.


Mungkin ini juga seperti cinta. Sesederhana aku melihatnya di kedai kopi, dilanjut perbincangan di bawah langit penuh bintang saat dia sedang hancur-hancurnya. Memang tidak semua kehilangan itu gampang untuk dilupakan. Tapi kehilangan yang sulit dilupakan pun, pada akhirnya akan tergantikan. Dan inilah aku sekarang, menjadi orang yang sangat beruntung telah dicintai olehnya.

“Eh iya, mungkin kamu lupa sesuatu atau mungkin pura-pura lupa.”

“Apaan?” Tanyanya heran.

Aku mengambil sebuah mini tart yang sedari tadi ku letakkan di bawah kursi tempat kami duduk.

“Happy Birthday pasangan se-ultahku, Shania Ardianta eh salah, Shania Junianatha. Semoga selalu menjadi pribadi yang keren, baik hati, selalu mencintai orang-orang yang mencintaimu dengan sepenuh hati. Stay health, stay strong, stay happy, and wish you all the best. Mungkin masih ada banyak orang yang lebih baik dari kamu, tapi semua yang ku butuhkan ada padamu. Jadi tetaplah bersamaku dalam waktu yang sangat lama.”

Dia hanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

“Happy Birthday juga Ray Ardianta, terus dukung aku untuk menjadi lebih baik, dan menjadi segala yang bisa menjadi hal baik untukmu dan untuk orang lain juga. Teruslah bahagia, karena sebelum membagi kebahagiaan untuk orang lain, kamu harus bahagia terlebih dulu.”

***

Faktanya, aku dan dia lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Tuhan tak buat kebetulan sebagai alasan, karena semua sudah ditetapkan. Kesamaan ulang tahun kami, pertemuan kami, dan bersatunya hati kami sudah ada sesuai timeline yang di gariskan oleh Tuhan.

Selamat ulang tahun Shania Junianatha.



No comments:

Post a Comment